Pengantar ke dalam Teologi Modern
Pdt. Harun I. Dethan, D.Th.
24 Oktober 2016
A. Latar Belakang
Teologi Modern tidak dapat dipahami tanpa terlebih dahulu kita mendapatkan gambaran mengenai karut-marut teologi dan filsafat pada abad ke-17 dan abad ke-18 yang terkenal dengan sebutan Abad Pencerahan (The Enlightenment). Pada era ini, terdapat beberapa aspek penting yang nanti sangat berpengaruh dalam teologi Kristen selanjutnya. Tokoh penting lainnya sesudah Era Pencerahan, Immanuel Kant, juga memberikan kontribusi yang sangat kuat bagi munculnya teologi modern.
1. Pencerahan
Pertama, manusia Abad Pencerahan. Pada era ini, terdapat sebuah pandangan yang sangat paradoks mengenai manusia, bahkan kelihatannya merupakan sebuah kontradiksi. Di satu sisi, Pencerahan memberikan status yang kelihatannya meninggikan manusia serta kemampuan-kemampuannya. Manusia dianggap sebagai pusat alam semesta. Dan pandangan ini tentu kelihatannya lebih menjanjikan ketimbang pandangan pada Abad Pertengahan dan Reformasi yang melihat manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan Allah ketika menciptakannya. Pencerahan memberikan optimisme yang sangat maksimal bagi manusia. Manusia dianggap dapat menentukan bagi dirinya sendiri apa yang baik dan yang benar dan bahwa melalui kemampuan akal budinya (rasio), manusia dapat membawa peradaban ke arah yang lebih baik dan lebih bermakna. Dalam terang pemahaman seperti ini, segala sesuatu yang berhubungan dengan wahyu dan otoritas eksternal (mis. Allah) dianggap sebagai penghalang bagi manusia untuk memaksimalkan potensi kemanusiaannya. Di sisi lain, pada saat yang sama, dalam pandangan sains Pencerahan, dunia dilihat sebagai sebuah mesin raksasa dimana manusia hanyalah bagian terkecil di dalamnya. Pandangan seperti ini menempatkan manusia pada posisi yang tidak signifikan dalam tatanan alam semesta.[1]
Kedua, fondasi Pencerahan. Basis paling fundamental pada era Pencerahan adalah akal budi. Basis ini sebenarnya berasal dari Rene Descartes yang disebut juga sebagai Bapak Rasionalisme atau Bapak Filsafat Modern. Dengan motto: cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), Descartes menampatkan rasio sebagai dasar dari pengetahuan. Ia menggunakan metode keraguan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang pasti. Dalam terang ini, penalaran kritis menjadi subjek yang sangat signifikan, bukan lagi pewahyuan (revelation) sebagai titik berangkatnya. Rasio ditempatkan sebagai yang terutama. Selain revolusi filsafat yang digagas oleh Descartes, Pencerahan juga merupakan produk dari sebuah revolusi dalam bidang sains yang menandai pemisahannya dari wawasan dunia Abad Pencerahan. Hal yang sentral dalam revolusi sains ini adalah implikasinya dalam hal penolakan terhadap segala sesuatu yang bersifat metafisik. Kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang harus dapat diobservasi berdasarkan prinsip-prinsi saintifik. Jadi, Pencerahan digagas atas dua dasar fundamental, yaitu Rasionalisme di satu sisi dan Empirisisme di sisi lain.[2]
Ketiga, prinsip-prinsip Pencerahan. Bertolak dari kedua basis fundamental di atas, Pencerahan mengasersi sejumlah prinsip, yaitu:[3]
a. Prinsip akal budi (the principle of reason). Menurut prinsip ini, akal budi merupakan kapasitas utama manusia untuk menjadikan dirinya sebagai sentral dalam keseluruhan tatanan alam semesta.
b. Prinsip alam (the principle of nature). Penekanan dari prinsip ini adalah sifat alamiah dari segala sesuatu dan bahwa alam semesta ini terbentuk atas hukum-hukum alam yang mengatur keberlangsungannya.
c. Prinsip otonomi (the principle of autonomy). Seperti yang sudah digambarkan sebelumnya, manusia Pencerahan diposisikan sedemikian tinggi sehingga ia harus bersifat otonom. Otonom di sini berarti bebas dari segala keharusan untuk tunduk kepada otoritas-otoritas eksternal, mis. Tuhan atau dogma-dogma Gerejawi. Manusia dianggap dapat dan harus menentukan arah, tujuan, serta perannya sendiri. Manusia mengklaim segala otoritas dari dan bagi dirinya sendiri dan manusia dianggap tidak memerlukan Tuhan untuk mendifinisikan siapa dan apa dia sebenarnya. Itu tentu tidak berarti bahwa manusia dapat hidup sesuka hati. Manusia Pencerahan tetap memposisikan dirinya sinkron dengan hukum-hukum alam.
d. Prinsip harmoni (the principle of harmony). Prinsip ini berarti bahwa manusia Pencerahan harus berupaya sedemikian rupa untuk hidup dalam harmoni dengan alam, di satu sisi. Di sisi lainnya, manusia harus menggunakan metodologi-metodologi kritis yang tepat untuk menangani berbagai hal yang bersifat kontradiktif lalu menjadikannya harmonis satu sama lain.
e. Prinsip optimisme (the principle of optimism). Pencerahan merupakan era yang paling optimistik sepanjang sejarah. Berangkat prinsip-prinsip di atas, Pencerahan sangat optimis bahwa manusia dengan kemampuan rasionya dapat menciptakan sebuah peradaban yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Manusia Pencerahan sangat percaya bahwa mereka dapat membawa sejarah kepada suatu klimaks keemasan yang maju dan teratur dalam segala hal, serta yang membawa kemaslahatan bagi semua makhluk di dalam alam semesta ini. Ini adalah sebuah era yang paling penuh pengharapan dan paling optimis dalam sejarah manusia.[4]
Dan keempat, agama Pencerahan. Karena penolakannya terhadap supremasi pewahyuan, Pencerahan bukannya membuang agama sama sekali, namun merumuskan ulang gagasan-gagasan teologis mengenai agama, yang mereka sebut sebagai agama natural. Istilah �agama natural� digunakan dalam pengertian yang sinonim dengan istilah �teologi natural�. Meski demikian, pada abad ke-18, istilah �agama natural� lebih kerap digunakan sedangkan istilah �teologi natural� lebih cenderung digunakan pada masa kini. Pengertiannya adalah sistem pemikiran yang menyimpulkan bahwa pengetahuan akan eksistensi Allah dan alam didapatkan berdasarkan bukti-bukti (evidences) dan melalui proses penalaran terlepas dari sumber-sumber pewahyuan semisal Alkitab. Pengertian ini terlihat dalam definisi mengenai teologi natural dari seorang teolog abad ke-19, James Henley Thornwell (1812-1862). Thornwell mendefinisikan teologi natural sebagai �pengetahuan tentang Allah dan tugas manusia yang didapatkan dari terang alam, atau dari prinsip-prinsip akal budi manusia, tanpa pertolongan pewahyuan supernatural.�[5]
Sebagai contoh, kesimpulan bahwa keteraturan tatanan alam semesta mengasumsikan keberadaan agen pendesain (mis. Allah). Kesimpulan ini tidak harus didapatkan melalui sumber-sumber pewahyuan. Orang hanya perlu melihat kepada bukti-bukti dan menggunakan proses penalaran untuk tiba pada kesimpulan ini.
Dalam agama natural, dikenal dua macam argumen, yaitu argumen a posteriori dan argumen a priori. Argumen a posteriorimengenai eksistensi Allah biasanya merujuk kepada argumen desain, yaitu argumen bahwa keberadaan Allah terbukti berdasarkan inteligensi kreatif-Nya yang terlihat dalam keteraturan alam semesta serta dimensi bertujuan (purposiveness) dari alam semesta. Argumen a priori merujuk kepada argumen kosmologis, yaitu: segala sesuatu yang berkeberadaan memiliki penyebab atau alasan untuk keberadaannya; alam semesta ada; karena itu, terdapat sebuah keberadaan yang memberi sebab atau alasan keberadaan bagi alam semesta.
Penolakan terhadap teks-teks pewahyuan (mis. Alkitab) sebagai sumber pengetahuan religius dan beralih kepada argumen-argumen serta bukti-bukti yang diajukan dalam teologi natural, kemudian dikenal dengan istilah Deisme. Deisme adalah salah satu bentuk dari agama natural. Pada abad ke-18, istilah Deisme digunakan secara luas untuk merujuk kepada sebuah kepercayaan bahwa pengetahuan yang handal akan Allah hanya dapat diperoleh berdasarkan akal budi (atau agama natural). Dua variasi lain dari pengertian Deisme adalah: a) kepercayaan bahwa setelah menciptakan dunia ini, Allah tidak lagi berintervensi melalui providensinya terhadap dunia ini sama sekali; dan b) pandangan bahwa Allah mengontrol dunia ini semata-mata melalui hukum-hukum moral dan melalui hukum alam. Hampir semua pemikir Pencerahan berkiblat kepada Deisme. Meski demikian Isaac Newton tampaknya merupakan kekecualian yang unik. Ia tetap mengacu kepada teologi Yudaisme mengenai Allah yang berkuasa dan mengontrol alam semesta, hanya saja ia tidak melihat pentingnya berargumentasi mengenai hal itu berdasarkan perspektif agama wahyu.
2. Immanuel Kant
Kant (1724-1804) hidup pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19 di mana akal budi yang dinaikkan ke atas singgasana kehidupan manusia menuai skeptisisme. Skeptisisme ini lahir karena mereka mendapati bahwa akal budi semata, sesuatu yang menjadi fondasi utama Pencerahan, tidak cukup untuk menjelaskan tentang Allah, moralitas, dan makna hidup. Tidak heran ada yang beralih kepada realtivisme religius.[6]Itulah sebabnya, Kant melihat bahwa skeptisisme terhadap kehandalan observasi empiris untuk mencapai pengetahuan, dapat dijadikan acuan awal untuk sebuah terobosan baru mengenai filsafat agama. Dan seperti yang akan diperlihatkan berikut, filsafat Kant menandai akhir dari teologi natural Abad Pencerahan sekaligus mempersiapkan jalan bagi lahirnya teologi modern pada abad ke-19 dengan penekanan pada moralitas sebagai dasar teologi.
Mengamati fenomena skeptisisme di atas, Kant berupaya menyelamatkan posisi sentral akal budi sekaligus menyediakan wilayah tersendiri bagi agama dalam kehidupan manusia yang salah satu fiturnya, imanensi dan providensi Allah, dibuang sama sekali dalam teologi natural para pemikir terdahulunya (kecuali Newton).
Bertentangan dengan epistemologi empiris, semisal yang dianut Locke mengenai akal budi �pasif� (konsep tabula rasa), dalam Critique of Pure Reason (1781), Kant menyatakan bahwa akal budi �aktif� dalam proses mengetahui. Pengetahuan akan dunia eksternal, tidak dapat diperoleh hanya melalui observasi empiris. Ia menyodorkan dua konsep fundamental untuk hipotesis ini, yaitu konsep ruang dan waktu. Kedua kategori ini bukan merupakan properti-properti intrinsik dari materi. Keduanya membatasi pengetahuan kita berdasarkan obsrevasi empiris semata. Kita tidak dapat mengetahui sama sekali tentang dunia eksternal, karena semua pengetahuan kita dibatasi oleh ruang dan waktu.[7]
Hipotesis di atas, bagi Kant, mengharuskan adanya pemisahan antara dunia pengalaman yang di dalamnya terdapat objek-objek yang dapat diobservasi (fenomena), dan dunia yang melampaui pengalaman (noumena). Menurut Kant, sebuah noumena dapat berupa sebuah objek yang keberadaannya terpisah dari jangkauan pengetahuan, atau sebuah objek yang sama sekali tidak terdeteksi. Konsep ini nantinya membuka ruang bagi Kant untuk berbicara mengenai sebuah domain yang melampaui domain sebab-akibat yang di dalamnya ia berbicara mengenai kebebasan manusia sebagai agen moral. Sampai di sini, Kant melihat kelemahan para pemikir Abad Pencerahan yang berbicara mengenai realitas transenden, misalnya Allah, dan kekekalan jiwa serta kebebasan manusia, berdasarkan observasi empiris. Critique of Pure Reason menempatkan realitas yang melampaui ruang dan waktu (misalnya Allah) sebagai sesuatu yang melampaui area sains dan pengalaman. Jadi, melalui Critique of Pure Reason, Kant bermaksud meletakkan aksioma metafisika dari arah yang tepat; arah yang berlawanan dari metafisika para pemikir terdahulunya. Pembicaraan tentang metafisika tidak dapat dilakukan dengan pengamatan terhadap dunia fenomena, sebab dunia metafisika (noumena) sama sekali terpisah dari dunia fenomena.[8]
Setelah meletakkan dasar teoritis bagi metafisika dalam Critique of Pure Reason, Kant berbicara mengenai aspek praktis dari akal budi dalam beberapa karyanya: Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan Metaphysic of Moral (1797).
Tujuan Kant dalam karya-karya di atas adalah untuk memperlihatkan bahwa manusia bukan sekadar makhluk dengan indera pengalaman melainkan juga adalah makhluk moral. Dunia ini bukan sekadar sebuah area saintifik, melainkan juga sebuah area di mana manusia bertindak sebagai makhluk moral. Dunia adalah domain dari sebuah nilai moral. Untuk membuktikan hal ini, Kant menyatakan bahwa manusia hidup dalam sebuah kondisi keharusan moral. Keharusan kondisi moral inilah yang menjadi lingkup dari pembicaraan mengenai kebebasan manusia. Kebebasan manusia berbicara tentang pilihan-pilihan bebas yang dilakukan manusia, dan hal ini hanya menjadi masuk akal di dalam konteks moral. Dengan kata lain, moralitas mengasumsikan manusia sebagai makhluk yang bebas untuk membuat pilihan-pilihan.
Karena Kant melihat bahwa moralitas memiliki dimensi rasional, yang ia sebut sebagai akal budi praktis, maka ia yakin bahwa terdapat prinsip-prinsip rasional yang mendasari semua penilaian moral (moral judgement), sama seperti terdapat prinsip-prinsi rasional yang mendasari semua teori pengetahuan. Konsekuensinya, sasaran dari dimensi moral dalam kehidupan manusia adalah untuk sedapat mungkin menjadikan manusia menjadi rasional. Rasionalitas moral sebagai sasaran kehidupan manusia disebut Kant sebagai �kewajiban� (duty). Bagi Kant, kewajiban ini mencapai klimaks atau kulminasinya di dalam apa yang ia sebut sebagai �kategori imperatif� (categorical imperative). Kategori imperatif adalah sebuah prinsip yang mengharuskan setiap manusia untuk bertindak sesuai dengan motif-motif moral yang universal. Dalam pengungkapannya sendiri: �Bertindak berdasarkan adagium bahwa tindakanmu lahir dari kehendakmu akan sebuah Hukum Alam yang Universal.�[9]Jadi, kategori imperatif bukan berbicara tentang tindakan-tindakan tertentu, melainkan motivasi-motivasi moral yang universal yang mendasari dan mendorong adanya tindakan-tindakan moral.[10]
Setelah meletakkan natur moral dari dunia dan alam semesta, Kant mulai berbicara tentang eksistensi Allah. Argumennya adalah bahwa kebaikan tertingi (summum bonum) bagi manusia adalah hidup dalam domain di mana kebajikan dan kebahagiaan saling terkait. Itu berarti, mestinya terdapat sebuah kehidupan di masa depan di mana kebajikan-kebajikan dalam hidup ini dihargai sebagaimana mestinya. Kita hidup dalam dunia di mana kebajikan-kebajikan ini acap kali tidak dihargai sebagaimana mestinya. Maka, Allah pasti ada sebagai keberadaan yang menggaransi keadilan yang seharusnya yang tidak tercapai dalam kehidupan ini. Implikasinya, dimensi moral inilah yang menghubungkan dunia fenomena dan dunia noumena. Manusia adalah makhluk dari dua domain yang saling terpisah satu sama lain. Maka setiap manusia harus dimengerti sebagai makhluk moral (yang bertindak sebagai agen moral yang bebas), sekaligus secara saintifik manusia berada di bawah hukum-hukum alam.
Dalam Religion within the Limits of Reason Alone (1793), Kant berniat untuk berbicara selangkah lebih maju dari moralitas menuju kepada agama, yaitu Kekristenan. Menurutnya, langkah maju ini merupakan sebuah keharusan karena Kekristenan memberikan sasaran ultimat bagi moralitas yang ia sebut sebagai �Pemberi hukum moral yang mahakuasa,� yang kehendak-Nya �harus menjadi tujuan akhir manusia.�[11]Kant mulai dengan memperkenalkan kembali �dosa asal� yang menjadi objek paling �dibenci� dalam Teologi Pencerahan. Kant melihat bahwa kejahatan-kejahatan radikal dalam dunia ini hanya dapat dijelaskan melalui dosa asal. Tetapi, Kant tidak sepenuhnya memisahkan diri dari Teologi Pencerahan karena ia menyatakan bahwa kejahatan radikal terdapat dalam manusia �yang berperilaku secara bebas dan itu mungkin untuk diatasi.�[12]Artinya, Kant melihat kapabilitas manusia untuk mengatasi sendiri persoalan kejahatan radikal tersebut.
Selanjutnya, ia menggambarkan tujuan dari penciptaan yaitu menjadikan manusia sebagai makhluk dengan moralitas yang sempurna. Tujuan ini tersingkap di dalam Anak Allah, Yesus Kristus, yang menjadi objek iman kita.[13]Kant berbicara tentang sebuah Kristologi yang sepenuhnya bersifat etis. Yesus menjadi objek iman kita karena Ia adalah �contoh empiris� mengenai �gagasan akan pribadi bermoral yang menyenangkan Allah.� Secara spesifik, contoh empiris tersebut terlihat dalam sikap Yesus ketika berhadapan dengan penderitaan-Nya �demi kebaikan tertinggi bagi dunia.�[14]
Jadi Kant membicarakan tentang Kristus dan Kekristenan sebagai agama yang penting, dalam konteks peneguhan akan dimensi etis/moral yang universal menuju kepada sebuah �agama yang murni� yaitu agama yang fondasinya adalah moralitas manusia sebagai makhluk rasional. Tidak heran, bagi Kant, natur Allah hanya dapat dipahami sebagai Penjamin moral (moral Guarantor). Sampai di sini pemikiran filsafat teologis Kant merupakan klimaks dari visi Pencerahan mengenai moralias, toleransi, dan kebebasan individu-individu. Berbeda dengan para pemikir terdahulunya, Kant tidak mendasarkan teologinya atas observasi empiris dan spekulasi mengenai signifikansi hukum alam sebagai dasar berperilaku. Kant melihat gagasan-gagasan seperti ini berawal dari aksioma yang tidak tertolong. Dunia noumena (Allah dalam hubungannya dengan manusia dan alam semesta) hanya dapat dijelaskan melalui gagasan mengenai manusia sebagai dimensi moral. Dimensi moral ini menjadi poros untuk mengetahui bahwa Allah ada, bahwa Ia menggaransi penghargaan yang sempurna terhadap nilai-nilai moral. Dan dengan demikian, dimensi moral ini menjadi domain penghubung antara dunia fenomena dan dunia noumena yang sama sekali terpisah. Di dalam domain inilah agama mendapatkan signifikansinya.
Pemikiran Kant bukan hanya menjadi klimaks dari Teologi Pencerahan, melainkan sekaligus mempersiapkan jalan untuk munculnya teologi modern pada abad ke-19. Teologi modern cenderung mengikuti Hume � membuang segala sesuatu yang berbau mukjizat, berdiri sangat dekat dengan Kant � penekanan akan moralitas sebagai inti teologi, dan menangkap visi Kant mengenai keterpisahan dunia nomena dan fenomena serta upaya untuk menghubungkannya semisal yang dilakukan Karl Barth.
B. Pengertian dan Teologi Modern
Istilah �modern� atau �modernitas,� jika dipahami dalam kategori rentang waktu, maka ia merujuk kepada periode antara tahun 1600 s.d. tahun 1980. Era ini disebut Era Modern. Kemudian, era selanjutnya disebut Era Postmodern. Tetapi, pendefinisian dari aspek ini dinilai tidak memadai.[15]Dalam bidang teologi, istilah �teologi modern,� sebenarnya digunakan dalam beberapa karaktersitik spesifik seperti yang didaftarkan oleh R.V. Pierard, yaitu:
a. Upaya mengadaptasi gagasan-gagasan keagamaan untuk disesuaikan dengan budaya modern. Upaya pengadaptasian ini dilakukan dengan berbagai redefinisi terhadap doktrin-doktrin penting dalam Kekristenan.
b. Menolak untuk mempercayai gagasan-gagasan keagamaan semata-mata berdasarkan otoritas wahyu. Menurut para pengusung paham ini, segala sesuatu harus melewati ujian akal budi dan pengalaman. Jika ternyata, kesimpulan setelah ujian ini dilakukan mengimplikasikan bahwa wahyu �bersalah,� mereka tidak segan-segan untuk menolak wahyu atas alasan tersebut.
c. Menekankan akan imanensi Allah dan menolak ketransendean-Nya. Itulah sebabnya, mereka cenderung untuk tidak mau berbicara mengenai hal-hal yang bersifat metafisik dan �di sana� atau �nanti�. Misalnya, menurut mereka, surga adalah sesuatu yang dapat kita upayakan terjadi sekarang dan di sini ketimbang sesuatu yang akan terjadi nanti dan di sana.
d. Sangat optimistik akan kemampuan manusia untuk membawa peradaban dan kemasyaraktan ke arah yang lebih baik. Itulah sebabnya, gagasan sentral dalam program teologi ini adalah etika atau moral. [16]
Selain beberapa karakteristik di atas, kita dapat menambahkan bahwa teologi modern menggunakan metode kritik tinggi (higher criticism) sebagai alat penyelidikan Alkitab, yang nantinya teridentifikasi dalam beberap metode spesifik, yaitu: Kritik sumber, kritik bentuk, kritik tradisi, dan kritik redaksi. Itulah sebabnya, dengan adanya karakteristik-karakeristik seperti ini, teologi modern digunakan secara bersinonim untuk menyebut teologi liberalisme yang dimulai sejak abad ke-19. Dan menjadi jelas juga bahwa teologi modern sebenarnya meneruskan banyak prinsip dari teologi Pencerahan, walau teologi modern menolak agama Pencerahan yang naturalistik-deistik.
Meski demikian, dalam perkembangannya hingga kini, istilah teologi modern bukan sekadar digunakan untuk menyebut teologi liberalisme, melainkan juga tercakup di dalamnya teologi neo-ortodoks yang digagas pertama kali oleh Karl Barth sebagai reaksi terhadap teologi liberalisme. Hal ini bisa dipahami karena Barth sendiri tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari liberalisme, melainkan membentuk sebuah sintesis antara teologi ortodoks dan teologi liberalisme yang hingga kini dikenal dengan sebutan Neo-ortodoks.
Oleh para pakar, teologi liberal disebut juga �modernisme lama�, sedangkan teologi neo-ortodoks disebut juga �modernisme baru� atau �Barthianisme� (mengikuti nama pendirinya: Karl Barth).[17] Untuk menggambarkan tentang bagaimana perbedaan teologi ortodoks, teologi liberal, dan teologi neo-ortodoks, kita bisa menggunakan sebuah contoh spesifik di sini, yaitu pandangan mengenai Alkitab. Bagi teologi ortodoks, Alkitba adalah firman Allah, kebenaran Allah, yang berarti semua yang tertulis di dalam Alkitab diwahyukan oleh Allah atas inspirasi Roh Kudus. Bagi teologi liberal, percaya bahwa Alkitab berisi firman Allah yang berarti bahwa sebagian isi Alkitab memang adalah firman Allah namun sebagian lainnya merupakan karangan manusia belaka yang dapat salah. Mereka dapat membedakan kedua hal ini dengan menerapkan metode-metode kritis di atas. Dan akhirnya, bagi teologi neo-ortodoks, Alkitab menjadifirman Allah. Maksudnya, Alkitab sebenarnya hanyalah karangan manusia saja, namun ketika Alkitab dibaca lalu si pembacanya mengalami perjumpaan dengan Allah, itu berarti Alkitab menjadifirman Allah bagi si pembaca tersebut.[18]
C. Cakupan dan Pendekatan
Berdasarkan pengertian di atas, materi mengenai teologi modern dalam matakuliah ini dibatasi pada pemikiran-pemikiran dari para teolog dalam lingkup teologi liberal dan teologi neo-ortodoks.
Selanjutnya, dalam penyajian materinya, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ulasan per tokoh. Artinya, yang akan dibahas adalah pemikiran-pemikiran dari para tokoh kunci dalam aliran teologi liberal dan teologi neo-ortodoks. Pendekatan seperti ini memiliki keuntungan yaitu bahwa kita dapat melihat kekhususan-kekhususan dari setiap tokoh yang ada serta kontribusi mereka masing-masing dalam dunia teologi. Hal ini sangat diperlukan karena kita tidak dapat menganggap bahwa hanya karena mereka berada dalam lingkup aliran teologi yang sama itu berarti bahwa mereka memiliki pandangan yang sama persis. Jadi, dengan menggunakan pendekatan ulasan per tokoh, diharapkan untuk menolong kita mengidentifikasi benang merah atau kesinambungan dalam pemikiran para tokoh tersebut, sekaligus mampu mengidentifikasi perbedaan-perbedaan spesifik dalam pandangan mereka masing-masing.
[1]Stanley J. Grenz & Roger E. Olson, 20thCentury Theology: God and the World in a Transitional Age (Downers Grove, Illinois: IVP, 1992), 17-18.
[2]Grenz & Olson, 20thCentury Theology, 18-20.
[3]Grenz & Olson, 20thCentury Theology, 20-22.
[4]Isaiah Berlin, The Age of Enlightenment(New York: Mentor, 1956), 16-17.
[5] James Henley Thornwell, Theological Lectures in The Collected Writings of James Henley Thornwell, ed. John B. Adger (2 vols, Richmond: Presbyterian Committee of Publications, 1871), 1.31.
[6]Lih. Arthur Cushman McGiffert, Protestant Thought Before Kant (London: Duckworth, 1911), 230-251.
[7]Lih. Gary Hatfield, �Kant on the Perception of Space [and Time],� in Paul Guyer (ed.), The Cambridge Companion to Kant and Modern Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 61-93.
[8]Lih. Karl Ameriks, �The Critique of Metaphysics: The Structure and Fate of Kant Dialectic,� in The Cambridge Companion to Kant and Modern Philosophy, 269-302.
[9]Immanuel Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Moral, trans. Thomas K. Abbott (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 199), 38.
[10]Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Moral, 46.
[11]Immanuel Kant, Religion within the Limits of Reason Alone (New York: Harper and Row, 1960), 5-6.
[12]Kant, Religion within the Limits of Reason Alone, 32.
[13]Kant, Religion within the Limits of Reason Alone, 54.
[14]Kant, Religion within the Limits of Reason Alone, 56, 59.
[15]Gareth Jones, The Blackwell Companion to Modern Theology (Malden, MA.: Blackwell, 2004), xii-xiii.
[16]R.V. Pierard, �Liberalism, Theological,� in Walter A. Elwell (ed.), Evangelical Dictionary of Theology(Grand Rapids, Mihcigan: Baker, 1984), 631-32.
[17]G.I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1 (Surabaya: Momentum, 1999), 10.
Tags
Teologi Modern